Sejarah Organisasi Rahasia Freemasonry Era Soekarno dan Gusdur

Foto Soekarno dan Gusdur serta lambang Freemasonry

Freemasonry dipercaya merupakan sebuah organisasi rahasia internasional yang memiliki tujuan utama untuk mempromosikan nilai-nilai persaudaraan, moralitas, serta pengembangan diri. Jika kamu tertarik membaca lebih mendalam tentang Freemasonry silahkan kunjungi www.granlogia.org untuk wawasan dan pengetahuan lebih mendalam.

Organisasi Freemasonry telah ada selama berabad-abad dan dikenal karena sifatnya yang tertutup serta ritual-ritual yang eksklusif. Di Indonesia, sejarah organisasi Freemasonry cukup menarik karena keterkaitannya dengan tokoh-tokoh besar, termasuk Presiden pertama Indonesia Soekarno.

Keberadaan Freemasonry di Tanah air pertama kali tercatat pada abad ke-19, seiring dengan masuknya pengaruh kolonial Belanda di kepulauan Nusantara. Pada masa itu, Freemasonry dianggap sebagai sebuah organisasi yang berkelas dan elit, sering diisi oleh kalangan intelektual, pejabat tinggi, dan tokoh-tokoh penting lainnya. Jaman Freemasonry di Indonesia kemudian berkembang di kota-kota besar seperti Batavia (Jakarta), Surabaya, dan juga Medan.

Awal mula, Freemasonry di Indonesia dikenal dengan sebutan Loge. Organisasi ini dikenal menyebar di kalangan komunitas Eropa, khususnya Belanda, namun kemudian mulai menarik perhatian berbagai tokoh pribumi tercinta. Salah satu cabang organisasi Freemasonry yang berpengaruh di Indonesia adalah Grand Orient of Indonesia, yang didirikan pada tahun 1900-an, yang menjadi salah satu organisasi Freemasonry terbesar di negeri ini.

Pada tahun 1736, salah seorang Belanda bernama Jacobus Cornelis Mattheus datang ke Indonesia bersama VOC untuk berdagang di Batavia. Setelah beberapa lama tinggal di Batavia, Jacobus Cornelis mendirikan pusat aktivitas para anggota Freemasonry (logi). Saat itu organisasi tersebut hanya menerima anggota yang berasal dari warga Belanda yang beranggotakan enam orang yang berasal dari kalangan petinggi militer dan sebagian lagi para pengusaha Yahudi.

Perkembangan organisasi Freemasonry terbilang sangat pesat, beberapa tokoh-tokoh nasional dikabarkan pernah terlibat sebagai anggota Freemason di antaranya Raden Adipati Tirto Koesoemo, R.M, Adipati Ario Poerbo Hadiningrat dan juga Dr. Radjiman Wedyodiningrat.

Pada tahun 1767 umumnya dianggap sebagai awal kehadiran Tarekat Mason Bebas yang terorganisir di pulau Jawa. Selain melakukan pertemuan di loji-loji, kabarnya mereka juga kerap melakukan pertemuan rahasia di kawasan Molenvliet yang kini menjadi Jalan Gajah Mada dan Hayam Wuruk untuk membahas mengenai pendirian loji-loji tersebut.

Loji-loji Freemasonry mulai banyak berkembang di Indonesia pada 1945-1950-an. Para Mason banyak membangun loji tersebut untuk berkumpul dan rapat.Sejumlah orang pribumi saat itu ikut bergabung dalam kelompok bawah tanah ini.

Salah satu peninggalan loji bangunan Freemasonry berada di Jalan Budi Utomo Jakarta Pusat. Bangunan itu kini berubah menjadi Gedung Kimia Farma. Bangunan itu dibangun pada tahun 1848 sebagai tempat pertemuan anggota Freemasonry.

Dikutip dari berbagai sumber, tempat perkumpulan Freemasonry ini disebut De Ster in het Oosten atau Bintang di Timur. Para penduduk setempat menyebut para pengunjungnya merahasiakan apa yang mereka bicarakan dan perbuat di gedung yang dihiasi dengan portikus dan pilaster dalam gaya dorik tersebut.

Para anggota Freemasonry kala itu menjadikan gedung megah dengan enam pilar kokoh penyangga itu sebagai rumah pemujaan yang disebut loge atau loji. Di saat-saat tertentu, terlihat para Mason kerap menggelar upacara dengan pembakaran lilin dan mengenakan pakaian aneh-aneh mirip pakaian halloween. Di gedung itu mereka menggelar ritual menyembah simbol-simbol yang melambangkan cita-cita dan pikiran tertinggi manusia. Dikabarkan, beberapa aktivitasnya adalah memanggil arwah atau jin dan setan.

Selain Gedung Kimia Farma, Gedung Bappenas pada masa Kolonial Belanda juga sempat dijadikan sebagai loji oleh para anggota Freemasonry di Indonesia. Gedung yang terletak di dekat Taman Surapati Jakarta Pusat ini juga dikenal dengan sebutan “Gedung Setan”.

Gedung yang pada awalnya bernama Adhuc Stat ini dibangun pada tahun 1880. Namun, pada tahun 1925, F.J.L. Ghijsels, seorang insinyur kelahiran Tulungagung Provinsi Jawa Timur, mendapat tugas merenovasi gedung tersebut secara besar-besaran. Alhasil, wajah bangunan berubah drastis dan berubah dari lantai tunggal menjadi gedung yang bertingkat.

Di era Presiden pertama Soekarno, Freemasonry sempat dilarang. Soekarno awalnya memanggil para tokoh Freemasonry tertinggi Hindia Belanda yang berada di Loji Adhucstat pada Maret tahun 1950. Mereka dipanggil untuk mengklarifikasi kegiatan yang mereka lakukan di loji tersebut.

Kejadian tersebut bukan tanpa alasan, sebab, rakyat yang saat itu mulai resah menyebut loji itu sebagai rumah setan karena karena di loji itu para Mason selalu melakukan ritual pemanggilan arwah orang yang sudah mati. Namun, para Mason mengelak atas tudingan ritual pemanggilan arwah orang mati tersebut. Tetapi Soekarno tak begitu saja percaya atas dalil mereka.

Pasca kemerdekaan Indonesia, gedung tersebut pernah menjadi saksi sejarah perjalanan bangsa Indonesia. Pada tahun 1966 Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmillub) menggelar sidang-sidangnya untuk mengadili para gembong Gerakan 30 September (G30S) PKI. Mereka yang diadili diantaranya, tokoh PKI Nyono, Menteri Luar Negeri (Menlu) Subandrio dan Panglima AURI Laksamana Omar Dhani. Kini gedung setan peninggalan Freemasonry telah berubah fungsi, Adhuc Stat kini menjadi Gedung Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas).

Akhirnya pada Februari 1961, Soekarno membubarkan dan melarang keberadaan Freemasonry di Indonesia. Pembubaran dan pelarangan tersebut dilakukan oleh Bung Karno dengan mengeluarkan Lembaran Negara Nomor 18/1961. Lembaran Negara ini kemudian dikuatkan oleh Keppres Nomor 264 tahun 1962 yang membubarkan dan melarang Freemasonry dan segala aktivitasnya seperti Rosikrusian, Moral Re-armament, Lions Club, Rotary Blub, dan Bahaisme.

Sejak saat itu, loji-loji mereka disita oleh negara. Namun 38 tahun kemudian, Presiden Abdurrahman Wahid atau yang akrab disapa (Gus Dur) mencabut Keppres Nomor 264/1962 tersebut dengan mengeluarkan Keppres Nomor 69 Tahun 2000 tanggal 23 Mei tahun 2000.


Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama