![]() |
Suasana Pengajian Kitab Al Mulahadzah Fiqhiyah oleh H. M. Ghazali Usman |
Bondowoso
— Di tengah arus modernisasi pendidikan
tinggi yang menuntut digitalisasi dan inovasi kurikulum, Sekolah Tinggi Agama
Islam (STAI) Al-Utsmani Bondowoso tampil berbeda. Alih-alih meninggalkan
tradisi lama, kampus ini justru mempertahankan salah satu ciri khas pendidikan
Islam klasik: pengajian kitab kuning. Tak sekadar dijadikan pelengkap, metode
ini ditempatkan sebagai inti dari sistem pembelajaran di STAI Al-Utsmani.
Ketua
STAI Al-Utsmani, Dawimatus Sholihah menegaskan bahwa pengajian kitab kuning
bukan hanya bagian dari warisan intelektual pesantren, tetapi juga pilar utama
dalam membentuk karakter dan nalar kritis mahasiswa.
“Kitab
kuning bukan hanya teks-teks klasik, tetapi juga ruang dialog keilmuan yang
kaya akan pemikiran. Dengan memahami kitab kuning, mahasiswa tidak hanya
belajar agama secara tekstual, tetapi juga kontekstual,” ujarnya.
Pengajian
kitab kuning dilaksanakan rutin setiap pekan dengan melibatkan dosen-dosen dan
mahasiswa yang dipimpin langsung oleh H. M. Ghazali Usman selaku ketua Yayasan Al-Utsmani.
Kitab yang diajarkan yaitu Al Mulahadzah Fiqhiyah. Proses pembelajaran
menggunakan metode sorogan dan bandongan, yang selama ini dikenal efektif dalam
pembentukan pemahaman mendalam terhadap teks-teks Arab gundul.
Uniknya,
STAI Al-Utsmani juga mengembangkan model integratif. Mahasiswa didorong untuk
mengaitkan kajian kitab kuning dengan isu-isu kontemporer, seperti moderasi
beragama, etika digital, hingga problematika sosial-keagamaan di masyarakat.
Hal ini menciptakan dialektika antara khazanah klasik dan realitas kekinian.
![]() |
Mahasiswa saat mengikuti pengajian kitab Al Mulahadzah Fiqhiyah |
“Kita
tidak ikut-ikutan meninggalkan akar. Kita justru menguatkan fondasi. Dari
situlah identitas kampus ini dibangun,” katanya.
Sikap
ini menjadi cerminan dari strategi pendidikan tinggi berbasis kearifan lokal.
Di saat banyak perguruan tinggi Islam berupaya menjadi ‘modern’ dengan
menghapus jejak pendidikan pesantren, STAI Al-Utsmani justru menunjukkan bahwa
modernitas tak harus menanggalkan tradisi.
Model
pendidikan seperti ini juga menjadi sorotan dalam berbagai forum akademik
lokal. Beberapa pengamat menilai pendekatan STAI Al-Utsmani bisa menjadi contoh
bagaimana pendidikan tinggi Islam tetap menjaga kontinuitas epistemologi klasik
sambil bersikap terbuka terhadap perkembangan zaman.
Dengan
posisi geografis yang berada di wilayah tapal kuda, di mana kultur pesantren
masih kuat, strategi STAI Al-Utsmani ini dinilai tepat sasaran. Tidak hanya
menjawab kebutuhan masyarakat lokal, tetapi juga berkontribusi menjaga
keberlanjutan warisan keilmuan Islam di Indonesia.
Ke
depan, pihak kampus berencana mendigitalisasi sebagian koleksi kitab klasik
yang diajarkan, sekaligus membuka forum kajian kitab secara daring agar bisa
diakses lebih luas.
“Kami
ingin kitab kuning tidak hanya hidup di ruang kelas, tapi juga di ruang publik
digital,” Tutup Dawim.
Melalui perpaduan antara keutuhan tradisi dan keterbukaan terhadap inovasi, STAI Al-Utsmani Bondowoso menunjukkan bahwa kampus Islam daerah pun mampu tampil dengan karakter khas dan daya saing yang kuat di era global. (*)